Merdeka Dengan Islam

Merdeka dengan Islam

Apa yang terlintas di benak antum ketika mendengar kata merdeka?

Selama ini istilah kemerdekaan telah dihegemoni oleh definisi dari Barat. Kemerdekaan, selain dimaknai sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, juga dimaknai sebagai kebebasan dari seluruh belenggu lainnya, termasuk belenggu agama. Akibatnya, kemerdekaan dalam tataran sosial dan politik banyak diasosiasikan dengan konsep kebebasan ala Barat yang dirinci menjadi kemerdekaan bergama, berpendapat, berekspresi, berekonomi dan berserikat.

Islam memang mengakui kebutuhan manusia akan kemerdekaan, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Imaduddin Abdul Rahim: “Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan, manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan kata lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia, atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu”.

Namun demikian, jika makna dan hakikat merdeka atau kemerdekaan dalam pemikiran manusia, apalagi dibangun dari pemikiran dan pengalaman masyarakat Barat, maka tak satu pun yang menyentuh hakikatnya dalam dimensi fundamental spiritual. Dalam hal ini, Islam sesungguhnya memiliki kekayaan empirik yang jauh lebih berharga di sepanjang perjalanan sejarahnya.

Islam datang untuk memerdekakan manusia dan untuk membawanya ke satu peradaban yang tinggi, yang bermartabat. Islam datang dengan nilai dasar tauhid. Tauhid-lah yang secara hakiki bisa membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari penjajahan. Dengan tauhid, manusia hanya akan mengakui keagungan dan kedaulatan Allah semata-mata. Dengan dasar tauhid, manusia tidak akan gentar dan tunduk kepada kekuatan lain kecuali hanya kepada Allah.

Ananda shalih dan shalihah, mari kita tengok misalnya sejarah Nabi Ibrahim as yang menunjukkan betapa merdeka dan kemerdekaan itu mesti berakar pada dimensi yang fundamental dan spiritual. Jauh sebelum mengutus para Nabi dan Rasul dengan kitab suci masing-masing, terlebih dahulu Allah mengutus Ibrahim as. dengan derajat kemuliaan yang amat tinggi. Allah Swt telah menganugerahkan rusyd kepada beliau, yakni kelayakan untuk memperoleh petunjuk kebenaran lantaran kebersihan diri dan kecerdasan beliau. Allah berfirman sebagaimana termaktub dalam al-Quran:

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ

Artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya” (QS. al-Anbiya’ ayat 51).

Itulah rusyd (petunjuk) yang memerdekakan jiwa Ibrahim as. Dalam episode berikutnya kita temukan kisah kegagahan dan keperwiraan beliau melawan dominasi politik Raja Namrud dan kultur paganisme keluarga dan masyarakatnya, sekalipun beliau harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup.

Demikianlah sejarah terus berulang, begitu pula dengan Musa as berjuang demi kemerdekaan jiwa melawan politik angkuh Raja Fir’aun. Sulaiman as, melawan keangkuhan politik materialistis Ratu Bilqis. Nabi Isa as, melawan kekuatan dan keculasan Bani Israil. Tak terkecuali Nabi Muhammad SAW, beliau mendobrak dominasi kekuasaan politik, ekonomi, serta kultur Quraisy yang mengungkung kemerdekaan dan kesucian hakiki jiwa manusia.

Dalam pandangan Buya Hamka, tauhid yang telah mengakar dalam jiwa manusia melahirkan jiwa zuhud yang melahirkan keyakinan dan sikap bahwa pada hakikatnya “manusia tidaklah memiliki apa-apa dan tidak pula dimiliki siapa-siapa”, kecuali hanya memiliki Allah dan dimiliki hanya oleh Allah. Masih menurut Buya Hamka, inilah inti substansial dari merdeka atau kemerdekaan. Jiwa merdeka adalah jiwa yang hanya bersandar kepada Allah semata: manusia hanya memiliki Allah, dan hanya Allah-lah yang dimiliki oleh manusia. Dari Sanalah bermula, dan ke Sanalah berakhir.

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa hakikat merdeka dan kemerdekaan hanya dapat diraih jika terlebih dahulu telah terdapat bangunan kokoh aqidah yang benar dan lurus. Kemerdekaan harus mengejawantah dan merupakan refleksi dari ber-taqarrub kepada Allah dengan menjalankan misi dan fungsi manusia sebagai “wakil” Allah di muka bumi.

Dan untuk menjalankan fungsi wakil Allah tersebut, maka kita perlu mengejawantahkan nilai-nilai tauhid dalam kehidupan dengan cara memperjuangkan pembebasan umat Islam dan umat manusia dari penjajahan manusia atas manusia secara pemikiran, sosial, maupun ekonomi. Allahu Akbar!